Breakingnewsjabar.com – DEWAN Perwakilan Rakyat akan merevisi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Pasal 188 undang-undang tersebut. DPR berencana mengubah Undang-Undang Pilkada secara menyeluruh, bukan hanya untuk mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi itu.
“Kami akan perbaiki secara komprehensif, termasuk berbagai putusan Mahkamah Konstitusi akan kami pelajari,” kata Ahmad Irawan, anggota komisi bidang pemerintahan DPR, kepada Tempo, Senin, 18 November 2024.
Mahkamah Konstitusi membacakan putusan uji materi Pasal 188 Undang-Undang Pilkada, Kamis pekan lalu. Dalam putusan perkara nomor 136/PUU-XXII/2024 itu, Mahkamah Konstitusi menambahkan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri” pada Pasal 188.
Awalnya, Pasal 188 ini berbunyi: “Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan atau denda paling sedikit Rp 600 ribu atau paling banyak Rp 6 juta.”
Selanjutnya, dalam putusan Mahkamah Konstitusi, bunyi Pasal 188 tersebut berubah menjadi “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan atau denda paling sedikit Rp 600 ribu atau paling banyak Rp 6 juta.”
Adapun Pasal 71 mengatur bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.
Ahmad Irawan berpendapat, substansi putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 136/PUU-XXII/2024 itu telah melampaui kebijakan hukum pemidanaan, meski putusannya selaras dengan keinginan berbagai pihak, yaitu terjaganya netralitas pejabat pusat dan daerah serta anggota TNI-Polri. Namun, kata dia, kerangka hukum pemilu telah mengatur adanya jenis pelanggaran dan kejahatan. “Artinya, tidak semua perbuatan yang dilarang dalam penyelenggaraan pemilu-pilkada merupakan kejahatan dan harus dipidana,” katanya.
Politikus Partai Golkar ini mengatakan pelanggaran yang terjadi bisa saja masuk kategori pelanggaran administrasi yang berakibat pembatalan peserta pemilu, pelanggaran etik bagi aparatur sipil negara, dan sanksi mutasi hingga demosi bagi personel TNI-Polri. “Tidak semua pelanggaran harus diganjar sanksi pemidanaan. Karena itu, akan dilakukan evaluasi komprehensif, termasuk terhadap berbagai putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Ahmad.
Menurut Ahmad, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sesungguhnya bertentangan dengan putusan mereka terdahulu, yaitu putusan perkara nomor 46/PUU-XIV/2016 dan 59/PUU-XXII/2024. Perkara nomor 46/PUU-XIV/2016 merupakan uji materi terhadap Pasal 284 ayat 1-5, 285, dan 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lalu perkara nomor 59/PUU-XXII/2024 adalah uji materi Pasal 523 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pemilu.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam kedua perkara itu menyatakan pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Lalu Mahkamah Konstitusi menyerahkannya kepada pembuat undang-undang untuk melengkapi kebijakan pidananya, dengan pertimbangan kebijakan pidana atau politik pemidanaan merupakan kebijakan yang mengharuskan adanya persetujuan DPR.
Anggota Badan Legislasi DPR ini mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara nomor 136/PUU-XXII/2024 terlalu jauh mengatur kebijakan pidana. “MK berpotensi melanggar UUD 1945,” katanya. “Hal-hal seperti ini bisa ditindaklanjuti oleh DPR dan presiden dengan melakukan perubahan, tidak harus oleh Mahkamah Konstitusi.”
Anggota komisi bidang pemerintahan DPR lainnya, Hendra Rahtomo alias Romy Soekarno, berbeda pendapat dengan Ahmad. Romy justru mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara nomor 136/PUU-XXII/2024. Ia berpendapat, putusan MK tersebut makin memperkuat netralitas pejabat, termasuk personel TNI-Polri. “Semuanya harus bersinergi, absolut, netral, dan berintegritas di pilkada,” kata Romy di kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 18 November 2024.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi tidak semestinya dilawan dengan pernyataan bahwa MK melampaui kewenangan, khususnya dalam urusan kebijakan pemidanaan. “Nanti kita lihat selanjutnya ke depan,” katanya.
Anggota komisi bidang pemerintahan DPR dari Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, sependapat dengan Romy. Doli menyatakan mendukung terlaksananya pilkada yang adil dan sehat, termasuk netralitas pejabat daerah serta anggota TNI-Polri. “Kalau memang putusannya menguatkan agar kompetisi fair, menurut saya bagus, tinggal diikuti saja,” kata Doli.
Ia mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat sehingga Komisi II DPR harus melaksanakannya dengan melakukan penyesuaian terhadap Undang-Undang Pilkada. “Nanti disesuaikan dengan peraturan yang berlaku,” ujar Doli.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto juga mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Mantan Wali Kota Bogor ini mengatakan putusan itu menjadi masukan untuk mengevaluasi sistem kepemiluan, khususnya aspek netralitas.
Undang-Undang Pilkada sesungguhnya hendak direvisi oleh anggota DPR periode lalu. Di ujung masa jabatan DPR periode 2019-2024, Badan Legislasi tiba-tiba mengubah UU Pilkada setelah terbit putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 merupakan uji materi Pasal 40 ayat 3 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan. Lalu perkara 70/PUU-XXII/2024 merupakan uji materi Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada yang mengatur batas usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah minimal 30 tahun.
Dalam putusan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024, partai politik atau gabungan partai politik tak lagi harus mengumpulkan 25 persen suara sah untuk mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ambang batas pencalonan diturunkan menjadi 6,5-10 persen, bergantung pada jumlah daftar pemilih tetap di suatu daerah. Lalu, dalam perkara nomor 70/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi menetapkan syarat usia pencalonan minimal 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon.
Saat membahas revisi UU Pilkada pada Agustus 2024, Baleg DPR tak mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi itu secara utuh. Mereka bahkan mengoreksi putusan tersebut. Namun DPR batal mengesahkan perubahan Undang-Undang Pilkada akibat penolakan yang masif dari berbagai kalangan masyarakat sipil pada 22 Agustus 2024. Mereka mengepung gedung DPR sehingga rapat paripurna pengesahan perubahan Undang-Undang Pilkada itu tidak mencapai kuorum.
Pengajar hukum kepemiluan di Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, berharap DPR tak lagi resistan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Ia mengatakan DPR semestinya mendukung putusan Mahkamah Konstitusi tentang pilkada itu. “Kalau DPR menyatakan punya keinginan serupa dengan masyarakat, yaitu ingin pilkada bersih. Ya, semestinya putusan MK diakomodasi dalam revisi Undang-Undang Pilkada,” kata Yance.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Muhammad Choirul Anam, mengatakan lembaganya mendukung putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Ia menilai putusan itu merupakan sinyal positif dalam mewujudkan terselenggaranya pilkada yang adil dan bersih. Anam mengatakan Kompolnas bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum untuk mengecek keterlibatan personel Polri di pilkada. “Bagi kami, ini hal yang positif dan harus didukung,” kata Anam.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal TNI Hariyanto (kiri) dalam Festival Film Pendek TNI 2024 di Djakarta Theater, Jakarta, 8 November 2024. ANTARA/Fauzan
Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayor Jenderal Hariyanto mengatakan netralitas TNI merupakan komitmen bagi setiap prajurit. “TNI berperan sebagai alat negara yang bersifat netral dalam kehidupan politik. Jadi tidak ada pelibatan dalam kegiatan politik praktis,” kata Hariyanto.
Adapun Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan kepolisian berkomitmen menjaga profesionalisme dan mewujudkan demokrasi yang kondusif serta tetap netral dalam pilkada. “Netralitas Polri telah diatur dalam undang-undang dan surat telegram Kapolri. Jika ada yang melanggar, silakan laporkan,” kata Truno.
Dikutip dari : https://www.tempo.co/ | https://www.tempo.co/politik/putusan-mk-netralitas-tni-polri-pilkada-1170150