Breakingnewsjabar.com – Terkait kasus dugaan korupsi Pusat Data Nasional Sementara (PDNS), sorotan juga tertuju pada peran beberapa pihak terkait, termasuk PT Telkom Indonesia Tbk (Telkom) dan PT Aplikanusa Lintasarta, yang diduga terlibat dalam pengadaan barang dan jasa untuk proyek tersebut. Kedua perusahaan ini telah menyatakan komitmennya untuk bekerja sama sepenuhnya dengan pihak kejaksaan guna mendukung proses penyidikan.
Respons Telkom dan Lintasarta Terhadap Dugaan Korupsi PDNS
VP Corporate Communication Telkom, Andri Herawan Sasoko , menegaskan bahwa perusahaan akan terus mengikuti perkembangan kasus ini serta menghormati proses hukum yang sedang berlangsung.
“Dan kami siap bekerja sama dengan pihak berwenang dalam rangka mendukung penyelidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” kata Andri dalam keterangan pers, Senin (17/3/2025).
Ia menambahkan bahwa Telkom selalu menjalankan bisnisnya berdasarkan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan mematuhi semua aturan serta regulasi yang berlaku.
Sementara itu, Lintasarta , melalui Head of Corporate Communications Dahlya Maryana , menyampaikan sikap serupa. Perusahaan menghormati proses hukum yang tengah berjalan dan berjanji untuk bersikap kooperatif dalam memberikan informasi yang dibutuhkan.
“Lintasarta mengikuti prosedur yang berlaku dengan menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas. Dengan dukungan mitra strategis sebagai pakar keamanan siber serta standar global yang ketat, kami memastikan perlindungan optimal terhadap data pelanggan dan enterprise,” ujar Dahlya.
Kedua perusahaan ini merupakan pemain besar di industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia. Keterlibatan mereka dalam proyek PDNS sejak 2020 menjadi sorotan utama dalam penyelidikan kasus ini.
Pengadaan PDNS yang Bermasalah: Tidak Sesuai Aturan
Menurut penjelasan dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, pengadaan PDNS tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) . Regulasi ini hanya mewajibkan pemerintah untuk membangun Pusat Data Nasional (PDN) , bukan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) .
Namun, dalam praktiknya, pemerintah justru membangun tiga fasilitas PDNS, yaitu:
- PDNS 1 di Serpong, Tangerang Selatan
- PDNS 2 di Surabaya
- Pusat Data Cadangan di Batam
Selain itu, ditemukan adanya dugaan pengondisian tender yang melibatkan pejabat di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dengan perusahaan swasta, yakni PT AL . Perusahaan ini diduga memenangkan kontrak secara tidak wajar pada periode 2020-2024, dengan total nilai mencapai Rp958 miliar .
Beberapa fakta penting terkait pengadaan PDNS antara lain:
- Pada tahun 2020 , PT AL memenangkan kontrak senilai Rp60,3 miliar .
- Pada tahun 2021 , nilai kontrak bertambah menjadi Rp102,6 miliar .
- Pada tahun 2022 , kontrak kembali meningkat menjadi Rp188,9 miliar , setelah dilakukan penghilangan sejumlah persyaratan teknis.
- Pada tahun 2023 dan 2024 , PT AL memenangkan tender untuk proyek komputasi awan dengan nilai kontrak masing-masing Rp350,9 miliar dan Rp256,5 miliar .
Yang lebih mencolok, PT AL diduga bermitra dengan pihak yang tidak memenuhi persyaratan pengakuan kepatuhan ISO 22301 , sebuah standar internasional untuk sistem manajemen keberlangsungan bisnis. Padahal, ISO 22301 merupakan salah satu syarat wajib yang ditetapkan oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) .
Serangan Ransomware dan Dampaknya pada Layanan Publik
Salah satu dampak buruk dari dugaan korupsi ini adalah serangan ransomware yang terjadi pada 20 Juni 2024 , tepatnya di fasilitas PDNS 2 Surabaya . Serangan ini dilakukan oleh kelompok hacker Brain Cipher Ransomware , yang meminta tebusan sebesar US$8 juta (sekitar Rp131 miliar) .
Akibat serangan tersebut, layanan publik seperti imigrasi di bandara hingga pembuatan paspor sempat lumpuh. Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menyebutkan bahwa gangguan ini disebabkan oleh kerusakan pada server Pusat Data Nasional .
Namun, pada 2 Juli 2024 , Brain Cipher Ransomware secara mengejutkan mengumumkan bahwa mereka akan memberikan kunci dekripsi gratis kepada pemerintah Indonesia. Alasan mereka adalah karena serangan tersebut berdampak langsung pada masyarakat umum, bukan hanya pemerintah.
“Kami ingin membuat pernyataan publik. Rabu ini, kami akan memberimu kunci gratis. Semoga serangan kami memperjelas kepada Anda betapa pentingnya membiayai industri dan merekrut spesialis (keamanan siber) berkualifikasi,” tulis Brain Cipher Ransomware melalui akun X (Twitter) .
Meski demikian, hacker tersebut tetap memberikan ancaman bahwa data yang dicuri akan disebarkan jika pemerintah tidak mengonfirmasi penerimaan kunci tersebut.
Eks Menteri Kominfo Curiga Serangan Dilakukan Bandar Judi Online
Eks Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Budi Arie Setiadi , memiliki pandangan berbeda terkait serangan ransomware ini. Ia curiga bahwa hacker yang membobol sistem PDNS 2 Surabaya adalah bandar judi online (judol) yang ingin memberikan peringatan kepadanya.
Hal ini didasari oleh langkah agresif Budi Arie dalam memberantas judi online selama masa jabatannya. Menurutnya, bandar judi online merasa terganggu dengan kebijakan tersebut.
“Mereka (bandar judi online) melihat pemberantasan judol yang saya lakukan sangat kencang,” ujar Budi Arie dalam acara podcast Close The Door Deddy Corbuzier , November 2024.
Meskipun demikian, klaim ini masih membutuhkan investigasi lebih lanjut untuk membuktikan apakah benar bandar judi online terlibat dalam serangan siber tersebut.
Penyidikan Terhadap Kasus PDNS Masih Berlanjut
Hingga saat ini, penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi PDNS masih berlangsung. Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-488/M.1.10/Fd.1/03/2025 pada 13 Maret 2025.
Kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp500 miliar , dengan dampak signifikan terhadap layanan publik dan tereksposnya data pribadi penduduk Indonesia.
Kejaksaan berharap kasus ini dapat diusut tuntas agar pelaku dapat diproses sesuai hukum yang berlaku.
Serangan ransomware yang terjadi pada Juni 2024 tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga membahayakan data pribadi warga Indonesia. Insiden ini menjadi pengingat pentingnya keamanan siber dalam pengelolaan data nasional.
“Kami berharap pemerintah dapat meningkatkan pengawasan terhadap proyek-proyek strategis seperti ini agar tidak terulang di masa mendatang,” tambah Bani Immanuel Ginting.